Kamis, 03 Mei 2012

geri ampu



RESEARCH  PRPROPOSAL
NAMA                       : GERI
NPM                           : O81010300
JUDUL                      : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 113/PID/2011/PTR JO KEPUTUSAN PENGADILAN NEGRI PASIR PENGARAIAN NOMOR 274/PID.B/2010/PN.PSP TENTANG KEPUTUSAN TERHADAP PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI KASUS)
RUANG LINGKUP : PIDANA
PROGRAM STUDI : HUKUM ACARA
A.    Latar Belakang Masalah
      Lembaga peradilan merupakan peran penting dalam implementasi konsep negara hukum, terlihat dari peran lembaga peradilan dalam mencegah penyalahgunaan proses peradilan untuk kepentingan politik. Pada masa transisi tersebut, peradilan merupakan institusi pelaksanaan konstitusi, perlindungan hak asasi dan jaminan atas prosedur-prosedur yang demokratis. Sebagai gambaran ideal, dalam menjalankan fungsi peradilan atau penjamin konstitusi (constitutional review), para hakim tidak saja menengahi komplik antara elit politik, tetapi juga mampu menghindari pelaksanaan pemerintah yang tidak adail. Dengan demikian lembaga peradilan menjadi pelaku yang kuat dalam memelihara kekuasaan.
UUD 1945 hanya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupan kekuasaan yang mardeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[1] Berdasarkan ketentuan  Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 , sesudah perubahan  menyatakan, struktur kekuasaan kehakiman di indonesia terdiri atas  Mahkamah Agung, peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Meliter, dan Mahkamah Konstitusi.[2] Dan Pasal 2 undang-undang No. 4 Tahun 2004 telah menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh  sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang  berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Meliter, lingkungan Peradilan Tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebuah lembaga peradilan sangat diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai tempat mencari kebenaran dan keadilan, maka setiap perkara dalam semua proses peradilan yang diajukan oleh masyarakat diminta agar aparat penegak hukum dapat melakukan kepastian hukum terhadap setiap putusan majelis hakim yang memeriksa perkaranya sebaagai mana yang diamanatkan konstitusi. Dalam setiap permasalahaan yang ada masyarakat meminta pengadilan harus memutuskan dan mengadili setiap perkara yang di ajukan kepadanya demi kebenaran dan keadilan.
            Banyak perkara-perkara yang menarik perhatian mayarakat terkadang di putuskan secara kontropersial sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Misalnya ketika suatu perkara yang seharusnya ringan malah menjadi berat, dan begitu juga sebaliknya. Disini terlihat ketidakadilan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat ikut menelaah suatu keputusan yang di ponis majelis hakim, masyarakat menilai bahwa majelis hakim dan penegak hukum di Indonesia ini seolah-olah menjadikan hukum sebagai ajang praktek jual beli perkara atau biasa disebut sebagai mafia peradilan. Seperti contoh kasus yang selalu marak pada saat sekarang ini yaitu kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat di negara ini, dimana yang seharusnya kasus tersebut perlu diatasi dengan hukuman yang seberat-beratnya, karena secara tidak langsung kasusu tersebut akan merugikan negara, namun pada kenyataannya permasalahaan tersebut disikapi dengan ketidaksesuaian yang telah ditentutan menurut prosedurnya, dan bahkan di putuskan sangat ringan dibandingkan dengan masyarakat biasa yang hanya mengambil satu makanan untuk bertahan hidup, dan bahkan banyak kasus-kasus lain yang selalu ditangani oleh majelis hakim yang tidak sesuai dengan hukuman yang seharusnya diterima. Hal tersebutlah yang menimbulkan statement-statement dikalangan masyaraat yang mengatakan bahwa hukum hanya milik orang yang memmempunyai kemampuan keuangan yang baik atau hanya milik orang kaya, sehingga putusanpun dapat di pesan sesuai dengan keinginan.
            Citra buruk yang menimpa penegak hukum maupun lembaga peradilan di indoneesia yang selalu memanfaatkan peluang celah hukum dan teknik prosedural meninggalkan keadilan yang merupakan inti peradilan maupun penegak hukum itu sendiri.[3] Sehingga gejolak yang terjadi pada masa kemasa yang sulit dibasmi , oknum penegak hukum mau disuap dan rela menghancur kan kehormatannya. Sehingga putusan bebas yang seharus nya dijatuh kan hukuman oleh hakim dipengadilan yang terkait, menjadi ponis bebas, hal ini menjadi persoaalan yang mengusik wibawa keadilan itu sendiri.
            Putusan bebas, berarti terdakwa di jatuhi putusan bebas atau di nyatakan bebas dari tuntutan hukum (virj spraak) atau acquittal. Ini lah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan tegas nya terdakwa “tidak dipidana”.
            Dalam keadaan bagaimana seorang terdakwa diputus bebas? Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas, pasal 191 ayat (1) yang menjelaskan; apabila pengadilan berpendapat:
-  dari hasil pemeriksaan “ disidang pengadilan”
-  kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti”
Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan.[4] Kalau putusan pembebasan diatur dalam pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi: jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka siterdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.[5]
            Untuk menciptakkan kedailan dan mendapat kan kepastian hukum hakim harus menjatuh kan pidana dalam rangka menjamin tegak nya kebenaran, keadilan dan kepstian hukum bagi setiap orang, untuk itu penulis tertarik melakukan sebuah penelitian terhadap putusan bebas dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana yang di proses di Pengadilan Tinggi Riau, yang semula diproses dari Pengadilan Negri Pasir Pengarayan, namun tersangka meminta banding maka perkara ini selanjut nya di proses oleh Pengadilan Tinggi Riau dengan perkara Nomor: 113/PID/2011/PTR.
            Perkara pidana putusan bebas ini berawal dari siterdakwa Sujarwo Als. Jarwo Bin Saino pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi pada bulan juli 2010 atau setidak tidak nya pada sewaktu waktu bertempat dipenginapan Putri Melayu 25, kamar nomor 08 Kelurahan Ujung Batu Kabupaten Rokan Hulu, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau memberikan keterangan, sengaja menganjurkan orang lain yaitu saudara Sisu supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, yaitu Mujati yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
             Berwal dari pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi secra pasti pada bulan Juli 2010 terdakwa Sujarwo Als.Jarwo Bin Saino bertemu dengan saudara Sisu di Penginapan Putri Melayu 25, kamar Nomor 08 Kelurahan Ujung Batu Kecamatan Ujung Batu Kabupaten Rokan Hulu, saat itu Terdakwa becerita kepada Sisu mengenai rasa sakit hati Terdakwa pada mantan istrinya yaitu Korban Mujati karena mengkhianati terdak terdakwa dengan cara menikah lagi dengan orang lain, menelantarkan Terdakwa dan mengklaim harta milik Terdakwa dan Sdr. Sisu dan Terdakwa saat itu berjanji mengupah Sdr. Sisu dengan sejumlah uang senilai Rp. 70.000.000,- (Tujuh puluh Juta Rupiah) setelah menerima uang itu  Sdr.Sisu di bantu oleh 2 (dua) orang  kawan nya yang bernama Sarwo Edi Als. Pijai dan Riswan  kedua kawan Sdr.Sisu masih DPO sampai sekarang, akibat perbuatan Terdakwa mengakibat kan koban Mujati meninggaldunia..
            Atas perbuatan Tersangka Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan yang pada intinya supaya Majelis Hakim  Pengadilan Negri Pasir Pengarayan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan Sujarwo Als. Jarwo Bin Saino bersalah melakukan tindak pidana menganjurkan  pembunuhan berencana sebagai mana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) ke- 2 KUHP.
            Atas perbuatan terdakwa Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 (Dua Puluh Tahun) tahun dengan dikurangi  selama terdakwa berada dalam tahanan sementara , pidana tahanan penjara yang akan dijalani Sujarwo Als. Jarwo Bin Saino  17 (Tujuh Belas) tahun  dan menetakan agar terdawa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah).
            Berdasarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan memberikan kesimpulan dalam putusan NOMOR: 274/PID/B.2010/PN.PSP. atas hasil putusan tersebut Terdakwa didampingi penasehat hukumnya, karena keberatan atas putusan ponis yang dijatuhkan, akan melakukan banding ketingkat pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi Riau . menimbang, bahwa karena pengajuan permintaan banding dari penasehat hukum terdakwa maupun Penuntut Umum di lakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta syarat-syarat yang telah ditentukanoleh Undang-Undang maka permintaan banding tersebut secara formil diterima. Terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau, setelah membaca dan mempelajari berkas perkara yang diajukan kepada siterdakwa  maka Majelis Hakim bekesimpulan bahwa Terdakwa tidak mengakui perbuatannya yang didakwakan kepadanya dan menyatakan keterangan Terdakwa didalam Berita Acara Pemeriksaan di penyidikan tidak benar, keterangan tersebut diberikan karena takut, dari keteranagn saksi tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui bahwa terdakwa melakukan atau membujuk atau membantu orang lain melakukan perbuatan ya ng didakwakan kepadanya.
            Maka adanya keterangan/pernyataan dari Sujarwo Als.Jarwo Bin Saino atau keterangan Terdakwa yang juga salah satu bukti dalam Hukum Acara Pidana, maka Majelis Hakim memberikan perimbangan sebelum menjatuhkan hukuman, atas perimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau dari beberapa bukti-bukti yang diajukan kepersidangan, maka Majlis Hakim memberikan putusan bebas terhadap  Sujarwo Als.Jarwo Bin Saino dari segala tuntutan hukum yang dinyatan kepadanya dan memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengeluarkan Sujarwo dari Rumah Tahanan Negara (RUTAN).
            Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dalam   suatu penelitian penegakan Hukum Acara Pidana formil  (KUHAP) dalam betuk skripsi penulis menarik judul.
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 113/PID/2011/PTR JO Keputusan Pengadilan Negeri Pasir Pengirayan Nomor 274/PID.B/PN.PSP  Tentang Keputusan Bebas Terhadap Pembunuhan Berencana (Studi Kasus).
            Selanjutnya pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih tajam dan bermakna, sesuai dengan apa yang di harap kan, penulis memberikan beberapa batasan penelitian yang berkenaan dengan arti judul penelitian:
            Tinjauan yuridis yangdimaksut yaitu tinjauan berdasarkan perundang undangan maupun doktrin-doktrin hukum dari pendapat hukum para ahli sehingga menghasilkan suatu pendapat, yang mana sudah menyelidiki fakta-fakta dan mempelajari suatu proses melalui langkah-langkah tersusun secara sistematis untuk mencari jalan keluar dan mejelaskan perkara yang dimaksut. Tinjauan yuridis disni berarti pandangan terhadap putusan bebas dalam hal ini terdapat dalam berkas perkara Nomor 113/PID/2011/PTR JO Putusan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
            Putusan yaitu telah diselesaikan ; telah ada kepastian. Putusan Pengadilan yitu pasal 1 ayat (11) adalah pernyataan hakim yang diucapkan dlam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut carayang diatur dalam undang-undang ini.[6] Putusan yang dimaksut dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor berkas perkara 113/PID/2011/PTR dan Putusan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
            Putusan bebas adalah pasal 191 ayat (1) KUHP menjelas kan jika pengadilan berpendapat bahwa  dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdawa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdawa diputus bebas, ayat (2) jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdawa diputus lepas dari segala tuntutan.[7]
            Pembunuhan berencana yaitu pasal 340 ,  barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
            Kejahatn ini dinamakan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu’’ (moord). Boleh dikatankan ini, adalahlah suatu pembunuhan biasa (doodslag) tsb. Dalam pasal 338, akan tetapi direncanakan terdahulu,  direncanakan lebih dahulu’’ (voorbedachte rade) antara timbulnya maksut untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi sipembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimana pembunuhan itu akan dilakukan.[8]
            Studi kasus adalah studi yang bermaksud untuk memahami suatu pristiwa hukum,  dalam  hal ini yang menjadi pristiwa hukum adalah sebagai mana yang terdapat dalam perkara 113/PID/2011/PTR dan Putusan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
B. Masalah pokok
            Betdasarkan latar belakang yang penilis uraikan diatas, maka penulis menerapkan masalah pokok sebagai berikut:
          1. Bagaimanakah proses pemeriksaan perkara dipengadilan dalam perkara                             pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
          2. Bagai manakah pertimbangan hukum dari majlis hakim pengadilan dalam              perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
C. Tinjauan pustaka
              Sebelum perkara pidana ini berjalan sampai dimeja hijau atau sidang pengadilan, ada  tahapan yang harus dilalui oleh perkara pidana yaitu:
              Tahapan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang diatur dalam pasal 1 butir (4) UU NO. 8 Tahun 1981 . penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik  Polri maupun  Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, penyelidik adalah orang yang melakukan “penyelidikan” Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana, pencarian dan usaha menemukan pristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksut untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah pristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (pasal 1 butir 5)
              Dari penjelasan diatas, “penyelidikan” merupakan tindakan terhadap pertama permulaan “penyidikan” akan tetapi harus diiangat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri  terpisah dari fungsi ‘’penyidikan”. penyelidikan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk pedoman pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada pungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa pangakapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.[9]
              Adapun tugas dan wewenang dari pejabat penyidik adalah sebagai berikut terdapat didalam pasal 7 KUHAP:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri            tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;  
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.  mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan                            pemeriksaan perkara;
i.  mengadakan penghentian penyidikan;
j.  mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.[10]
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam, pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat          (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.[11]
              setiap pegawai negeri yang dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwayang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkanhal itu kepada penyelidik atau penyidik. penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga  merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyelidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi, dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapai, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, penyelidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan itu dari penuntut umum kepada penyidik (pasal 110).[12]
              Pasal 1 butir (7) KUHAP menyebutkan penuntutan dilakukan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana Kepengadilan Negeri yang bewenag dalam hal menurut cara yang diatur oleh Unadang-undang, dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. Selanjut nya Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan dengan ketentuan tidak cukup bukti, bukan tindak pidana atau ditutup demi hukum.
              Adapun kewewenang dari Penuntut Umum terdapat didalam pasal 14 KUHAP :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik   atau  penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.[13]
            Setelah memutus kan berkas tersebut kemudian dilimpah kan kepengadilan, maka Peuntut umum dapat memebuat surat dakwaan. Surat dakwaan adalah surat yang berisi dakwaan, hal ini diatur dalam pasal 143 UU. NO. 8 Tahun 1981, yaitu:
(1)   penuntut umum melimpah kan perkara kepengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2)   Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani  serta berisi:
       a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,  kebangsaan, tempat tanggal, Agama dan pekerjaan  tersangka;
       b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang          didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu        dilakukan
(3) Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai mana dimaksut  dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum;
(4) Turunan surat pelimpahan perkara serta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau penasehat hukum nya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut kepengadilan Negeri.[14]
            Sesuai dengan ketentuan dalam proses persidangan yang meletakkan kewenagan dan tanggung jawab kepada hakim dalam memeriksa perkara, maka yang menentukan batal nya, surat dakwaan diserah kan kepada pendapat dan penilaian hakim yang bersangkutan, oleh karena itu hakim sebelum menentukan keyakinan dalam memberikan suatu putusan, harus memperhatikan hal-hal yang dijadikan barang bukti dipersidangan.
            Disamping itu didalam pasal 183 KUHAP menjelaskan; Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
            Alat bukti adalah apasaja yang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya suatau tuduhan/gugatan. Alat pembuktian; ini disebut dam diatur dalam pasal  184 KUHAP:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
            Apabila surat dakwaan terbukti merupakan suatau tindak pidan maka proses selanjut nya adalah pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim yang bersangkutan, mengenai putusan bebas dalam perkara tindak pidana dapat di jelaskan sebagai berikut
1. Putusan bebas berati terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak). Hal ini dimana apabila majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan dalam persidangan, kesalahan terdawa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdawa diputus bebas.
2. Pelepasan dari segala tuntutan hukum, berarti Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakawa terbukti., tetapi perbuatan itu merupakan tidak merupakan suatu tindak pidana
3. Putusan pemidanaan, hukuman berarti terdawa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
            Ketentuan sebagai mana yang sudah dikatakan, bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu tindakan pidana terbukti dalam pemeriksaan dipersidangan pengadilan, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk putusan bebas. Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (virj spraak) atau acquittal. Ini lah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan tegas nya terdakwa “tidak dipidana”. Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas, pasal 191 ayat (1) yang menjelaskan; apabila pengadilan berpendapat:
-  dari hasil pemeriksaan “ disidang pengadilan”
-  kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti”
   Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan. Kalau putusan pembebasan diatur dalam pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi: jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka siterdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
                        M. Yahya Harahap menegaskan bahwa dasar putusan yang bentuk putusan bebas menurut ketentuan Hukum Acara, hanya didasarkan pada penilaian hakim dimana kesalahan terdakwa atas perbuatan yamg didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, atau kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan nya tidak memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
            Kemudian dijelaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa putusan bebas pada umum nya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim dalam hal sebagai berikut:
1. kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidanagn baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, atau
2. secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan  batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan dipersidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Dalam hal yang seperti ini, disamping tidak memenuhi batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan pasal 185 ayat (2) yang menegaskan unus testis atau seorang saksi bukan saksi, atau
3. putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut pasal 183; yang mengajarkan pembuktian menurut Undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti namun nilai pembuktian yang cukp ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim, dalam keadaan penilaian yang seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan, membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.[15]
            Putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan para pihak dapat dilakukan melalui upaya hukum, sebagai mana yang diatur dalam KUHAP yaitu:
          1. Upaya hukum biasa, terdiri:
              a. Banding, diatur dalam pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP
              b. kasasi, yang berupa upaya hukum biasa diatur dalam pasal 244                             sampai pasal 258 KUHAP
            2.  Upaya hukum luar biasa terdiri
                   a. Kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam pasal 259 sampai        pasal 262 KUHAP
                   b. Peninjauan Kembali (PK), diatur dalam pasal 263 sampai pasal 268 dan 368 KUHAP
                   c. Kasasi terhadap putusan bebas, diatur dalam pasal 67 dan pasal 244             sampai pasal 244 KUHAP
            setelah hakim menetapkan suatu putusan terhadap suatu perkara,selanjutnya yang melakukan eksekusia terhadap putusan yang telah ditetapkan terhadap putusan tersebut adalah pihak jaksa.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
            Berdasarkan rumusan pokok masaalah  yang penulis uraikan diatas maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pemeriksaan perkara dipengadilan perkara     pidana nomor 113/PID/2011/PTR
        2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari majlis hakim pengadilan     dalam perkara pidana nomor 113/PID/2011/PTR
            Selanjut nya manfaat dari  penelitian ini yang penulis harapkan dalam penulisan ini dalah semata-mata untuk:
              1. Utuk menambah ilmu pengetahuan mengenai Hukum Pidana khusus nya  tentang Hukum Acara Pidana yang membahas tentang tindak pidana pembunuhan berencana
              2. Untuk dapat mendatangkan manfaat bagi peneliti yang akan memperdalam masaalah Hukum Acara Pidana, dan juga mahasiwa/i lain nya yang mnyangkut masaalah tindak pidana pembunuhan berencana.
              Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi[16]
       E. Metode Penelitian
            Istilah ‘’metodologi’’ berasal dari kata ‘’metode’’ yang berarti’’ jalan ke’’ ; namun  demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatau tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.[17]

Untuk melakukan penelitian ini penulis menggunakan langkah-langakah dalam metode penelitian sebagai berikut:
       1. Jenis dan Sifat Penelitian
            Jika dilihat dari jenisnya, penelitian ini tergolong kedalam penelitian Hukum Normatif dengan cara study dokumen yaitu mempelajari berkas perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
            Sedangakan dilihat dari sifat nya,  penulis penelitian ini bersifat deskriptif, yang berarti penelitian yang dimaksut untuk memberikan gambaran secara rinci tentang pembuktian dalam perkara Nomor 113/PID/2011/PTR dan perimbangan hakim dalam memberikan putusan dalam perkara nomor 113/PID/2011/PTR, jelas dan sitematis tentang permasalahan pokok penelitian.
            Sedangkan jika dilihat dari sifatnaya, penulisan penelitian in i bersifat deskriptif,  Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian deskriptif yaitu memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan tujuan mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun teori-teori baru.[18]
       2. Data dan Sumber Data
            Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer yaitu dalam pemelitian ini adalah berkas perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR dan Peraturan Perundang.undangan
b. Bahan Hukum Sekunder yaitubahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer berupa pendapat para ahli serjana, literatur atau mengenai buku-buku mengenai hukum pidana dan mengenai hukum acara pidana yang berkaitan dengan penelitian ini
c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam bentuk kamus, tulisan tentang laporan-laporan dan jurnal-jurnal.
       3. Analisis Data
            Setelah data yang penulis peroleh dari berkas perkara Nomor 113/PID/2011/PTR, lalu penulis olah data tersebut  dengan cara menguraikan dalam bentuk rangaian-rangkaian kalimat yang jelas dan rinci. Kemudian dilakuakan pembhasan dengan memperhatikan teori-teori hukum, undang-undang, dokumen-dokumen dan data lainnya , serta membandingkan dengan pendapat para ahli.
            Adapun cara penulis mengambil kesimpulan dalam penelitian ini adalah berpedoman pada cara induktif yaiyu, penyimpulan dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.


      



F. Sistematika Penulisan
            Untuk memudahkan sajian penelitian, penulisan uraiakan secara garis besar Bab demi Bab dalam lingkungan penelitian ini, sebagai berikut:
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
BAB I             PENDAHULUAN
A.                    Latar Belakang Masalah
B.                    Identifikasi masalah
C.                    Tinjauan Umum
D.                    Tujuan dan Manfaat
E.                    Metode Penelitian
F.                     Sistematika Penulisan

BAB II            TINJAUAN UMUM
A.                    Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan Berencana
B.                    Kasus Posisi Perkara Nomor 113/PID/2011/PTR

BAB III          HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.                     proses pemeriksaan perkara dipengadilan dalam perkara pidana                                                     Nomor 113/PID/2011/PTR
B.                    Bagai manakah pertimbangan hukum dari majlis hakim pengadilan              dalam perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR    


BAB IV          PENUTP
A.                    kesimpulan
B.                    Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

           
                       



[1] Jurnal mahkamah, No 1 Vol. 3 April 2011 hlm. 8
[2]  Ibid., hlm. 13
[3] Abdul Hadi Ansari, Sistem juri dan Dissenting Opinion sebgagai lamgkah awal dalalm peradilan yang jujur  dan Berwibawa di Indonesia, UIR Press, Pekanbaru, 2004, hal. 312
[4] M. Yahtya Harahap, Pembahasan Permasalahaan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal.347
[5] Ibid, hlm. 352
[6]  Solahudin, KUHP (kitap Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Visimedia, Jakarta, 2007, hal. 193
[7] Ibid,  hlm. 293
[8] R. Soesilo, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), serta komentar komentar nya lengkap pasal demi pasal, polita.bogor, 1999,  hlm.241
[9] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahaan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 101
[10] Drs. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 356
[11] KUHPer, (kitap Undang-Undag Hukum perdata), KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Pustaka Yustisia, Jakarta, 2010, hal. 648
[12] [12] Drs. C.S.T.  Kansil,  Op.cit, hal. 387
[13] Solahuddin, op.cit, hal. 200
[14] Sudarsono, kamus hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 464-465
[15] M. Yahya Harahap, op cit, hal. 348
[16] Soejono sukanto, Sri Mamududji, Penelitian Hukum Normatif, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 20
[17] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pers, Jakarta, 2010, hal. 5
[18] Ibid, hal. 10

1 komentar: