RESEARCH PRPROPOSAL
NAMA : GERI
NPM :
O81010300
JUDUL : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR
113/PID/2011/PTR JO KEPUTUSAN PENGADILAN NEGRI PASIR PENGARAIAN NOMOR
274/PID.B/2010/PN.PSP TENTANG KEPUTUSAN TERHADAP PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI
KASUS)
RUANG LINGKUP : PIDANA
PROGRAM STUDI : HUKUM ACARA
A.
Latar
Belakang Masalah
Lembaga peradilan merupakan peran
penting dalam implementasi konsep negara hukum, terlihat dari peran lembaga
peradilan dalam mencegah penyalahgunaan proses peradilan untuk kepentingan
politik. Pada masa transisi tersebut, peradilan merupakan institusi pelaksanaan
konstitusi, perlindungan hak asasi dan jaminan atas prosedur-prosedur yang
demokratis. Sebagai gambaran ideal, dalam menjalankan fungsi peradilan atau
penjamin konstitusi (constitutional
review), para hakim tidak saja menengahi komplik antara elit politik,
tetapi juga mampu menghindari pelaksanaan pemerintah yang tidak adail. Dengan
demikian lembaga peradilan menjadi pelaku yang kuat dalam memelihara kekuasaan.
UUD
1945 hanya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupan kekuasaan yang mardeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[1] Berdasarkan
ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ,
sesudah perubahan menyatakan, struktur
kekuasaan kehakiman di indonesia terdiri atas
Mahkamah Agung, peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
Agama, Peradilan Meliter, dan Mahkamah Konstitusi.[2]
Dan Pasal 2 undang-undang No. 4 Tahun 2004 telah menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Meliter, lingkungan Peradilan Tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebuah
lembaga peradilan sangat diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia
sebagai tempat mencari kebenaran dan keadilan, maka setiap perkara dalam semua
proses peradilan yang diajukan oleh masyarakat diminta agar aparat penegak hukum
dapat melakukan kepastian hukum terhadap setiap putusan majelis hakim yang
memeriksa perkaranya sebaagai mana yang diamanatkan konstitusi. Dalam setiap
permasalahaan yang ada masyarakat meminta pengadilan harus memutuskan dan
mengadili setiap perkara yang di ajukan kepadanya demi kebenaran dan keadilan.
Banyak perkara-perkara yang menarik
perhatian mayarakat terkadang di putuskan secara kontropersial sehingga
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Misalnya ketika suatu
perkara yang seharusnya ringan malah menjadi berat, dan begitu juga sebaliknya.
Disini terlihat ketidakadilan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada
terdakwa, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat ikut menelaah suatu
keputusan yang di ponis majelis hakim, masyarakat menilai bahwa majelis hakim
dan penegak hukum di Indonesia ini seolah-olah menjadikan hukum sebagai ajang praktek
jual beli perkara atau biasa disebut sebagai mafia peradilan. Seperti contoh
kasus yang selalu marak pada saat sekarang ini yaitu kasus korupsi yang
dilakukan oleh pejabat di negara ini, dimana yang seharusnya kasus tersebut
perlu diatasi dengan hukuman yang seberat-beratnya, karena secara tidak
langsung kasusu tersebut akan merugikan negara, namun pada kenyataannya
permasalahaan tersebut disikapi dengan ketidaksesuaian yang telah ditentutan
menurut prosedurnya, dan bahkan di putuskan sangat ringan dibandingkan dengan
masyarakat biasa yang hanya mengambil satu makanan untuk bertahan hidup, dan
bahkan banyak kasus-kasus lain yang selalu ditangani oleh majelis hakim yang
tidak sesuai dengan hukuman yang seharusnya diterima. Hal tersebutlah yang
menimbulkan statement-statement dikalangan masyaraat yang mengatakan bahwa hukum
hanya milik orang yang memmempunyai kemampuan keuangan yang baik atau hanya
milik orang kaya, sehingga putusanpun dapat di pesan sesuai dengan keinginan.
Citra buruk yang menimpa penegak
hukum maupun lembaga peradilan di indoneesia yang selalu memanfaatkan peluang
celah hukum dan teknik prosedural meninggalkan keadilan yang merupakan inti
peradilan maupun penegak hukum itu sendiri.[3]
Sehingga gejolak yang terjadi pada masa kemasa yang sulit dibasmi , oknum
penegak hukum mau disuap dan rela menghancur kan kehormatannya. Sehingga
putusan bebas yang seharus nya dijatuh kan hukuman oleh hakim dipengadilan yang
terkait, menjadi ponis bebas, hal ini menjadi persoaalan yang mengusik wibawa
keadilan itu sendiri.
Putusan bebas, berarti terdakwa di
jatuhi putusan bebas atau di nyatakan bebas dari tuntutan hukum (virj spraak) atau acquittal. Ini lah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa
dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan tegas nya
terdakwa “tidak dipidana”.
Dalam keadaan bagaimana seorang
terdakwa diputus bebas? Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan
bebas, pasal 191 ayat (1) yang menjelaskan; apabila pengadilan berpendapat:
- dari hasil pemeriksaan “ disidang pengadilan”
- kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya “tidak terbukti”
Berarti
putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah dinilai oleh majelis hakim yang
bersangkutan.[4]
Kalau putusan pembebasan diatur dalam pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi: jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka siterdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.[5]
Untuk menciptakkan kedailan dan
mendapat kan kepastian hukum hakim harus menjatuh kan pidana dalam rangka
menjamin tegak nya kebenaran, keadilan dan kepstian hukum bagi setiap orang,
untuk itu penulis tertarik melakukan sebuah penelitian terhadap putusan bebas
dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana yang di proses di Pengadilan
Tinggi Riau, yang semula diproses dari Pengadilan Negri Pasir Pengarayan, namun
tersangka meminta banding maka perkara ini selanjut nya di proses oleh
Pengadilan Tinggi Riau dengan perkara Nomor: 113/PID/2011/PTR.
Perkara pidana putusan bebas ini
berawal dari siterdakwa Sujarwo Als. Jarwo Bin Saino pada hari dan tanggal yang
tidak dapat diingat lagi pada bulan juli 2010 atau setidak tidak nya pada
sewaktu waktu bertempat dipenginapan Putri Melayu 25, kamar nomor 08 Kelurahan
Ujung Batu Kabupaten Rokan Hulu, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau memberikan
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain yaitu saudara Sisu supaya melakukan
perbuatan dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain, yaitu Mujati yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Berwal dari pada hari dan tanggal yang tidak
dapat diingat lagi secra pasti pada bulan Juli 2010 terdakwa Sujarwo Als.Jarwo
Bin Saino bertemu dengan saudara Sisu di Penginapan Putri Melayu 25, kamar
Nomor 08 Kelurahan Ujung Batu Kecamatan Ujung Batu Kabupaten Rokan Hulu, saat
itu Terdakwa becerita kepada Sisu mengenai rasa sakit hati Terdakwa pada mantan
istrinya yaitu Korban Mujati karena mengkhianati terdak terdakwa dengan cara
menikah lagi dengan orang lain, menelantarkan Terdakwa dan mengklaim harta
milik Terdakwa dan Sdr. Sisu dan Terdakwa saat itu berjanji mengupah Sdr. Sisu
dengan sejumlah uang senilai Rp. 70.000.000,- (Tujuh puluh Juta Rupiah) setelah
menerima uang itu Sdr.Sisu di bantu oleh
2 (dua) orang kawan nya yang bernama
Sarwo Edi Als. Pijai dan Riswan kedua
kawan Sdr.Sisu masih DPO sampai sekarang, akibat perbuatan Terdakwa mengakibat
kan koban Mujati meninggaldunia..
Atas perbuatan Tersangka Jaksa
Penuntut Umum melakukan penuntutan yang pada intinya supaya Majelis Hakim Pengadilan Negri Pasir Pengarayan yang
memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan Sujarwo Als. Jarwo Bin Saino bersalah
melakukan tindak pidana menganjurkan
pembunuhan berencana sebagai mana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55
ayat (1) ke- 2 KUHP.
Atas perbuatan terdakwa Majelis
Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 20 (Dua Puluh Tahun) tahun dengan
dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara , pidana tahanan penjara yang akan dijalani Sujarwo Als.
Jarwo Bin Saino 17 (Tujuh Belas)
tahun dan menetakan agar terdawa
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah).
Berdasarkan dakwaan dari Jaksa
Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan memberikan
kesimpulan dalam putusan NOMOR: 274/PID/B.2010/PN.PSP. atas hasil putusan
tersebut Terdakwa didampingi penasehat hukumnya, karena keberatan atas putusan
ponis yang dijatuhkan, akan melakukan banding ketingkat pengadilan yang lebih
tinggi yaitu Pengadilan Tinggi Riau . menimbang, bahwa karena pengajuan
permintaan banding dari penasehat hukum terdakwa maupun Penuntut Umum di
lakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta syarat-syarat yang
telah ditentukanoleh Undang-Undang maka permintaan banding tersebut secara
formil diterima. Terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau,
setelah membaca dan mempelajari berkas perkara yang diajukan kepada siterdakwa maka Majelis Hakim bekesimpulan bahwa Terdakwa
tidak mengakui perbuatannya yang didakwakan kepadanya dan menyatakan keterangan
Terdakwa didalam Berita Acara Pemeriksaan di penyidikan tidak benar, keterangan
tersebut diberikan karena takut, dari keteranagn saksi tidak ada seorang pun
yang melihat dan mengetahui bahwa terdakwa melakukan atau membujuk atau
membantu orang lain melakukan perbuatan ya ng didakwakan kepadanya.
Maka adanya keterangan/pernyataan
dari Sujarwo Als.Jarwo Bin Saino atau keterangan Terdakwa yang juga salah satu
bukti dalam Hukum Acara Pidana, maka Majelis Hakim memberikan perimbangan
sebelum menjatuhkan hukuman, atas perimbangan-pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Riau dari beberapa bukti-bukti yang diajukan kepersidangan,
maka Majlis Hakim memberikan putusan bebas terhadap Sujarwo Als.Jarwo Bin Saino dari segala
tuntutan hukum yang dinyatan kepadanya dan memerintahkan kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk mengeluarkan Sujarwo dari Rumah Tahanan Negara (RUTAN).
Berdasarkan uraian diatas penulis
tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dalam suatu penelitian penegakan Hukum Acara Pidana
formil (KUHAP) dalam betuk skripsi
penulis menarik judul.
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan
Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 113/PID/2011/PTR JO Keputusan Pengadilan
Negeri Pasir Pengirayan Nomor 274/PID.B/PN.PSP
Tentang Keputusan Bebas Terhadap Pembunuhan Berencana (Studi Kasus).
Selanjutnya pembahasan dalam
penelitian ini dapat lebih tajam dan bermakna, sesuai dengan apa yang di harap
kan, penulis memberikan beberapa batasan penelitian yang berkenaan dengan arti
judul penelitian:
Tinjauan yuridis yangdimaksut yaitu tinjauan
berdasarkan perundang undangan maupun doktrin-doktrin hukum dari pendapat hukum
para ahli sehingga menghasilkan suatu pendapat, yang mana sudah menyelidiki
fakta-fakta dan mempelajari suatu proses melalui langkah-langkah tersusun
secara sistematis untuk mencari jalan keluar dan mejelaskan perkara yang
dimaksut. Tinjauan yuridis disni berarti pandangan terhadap putusan bebas dalam
hal ini terdapat dalam berkas perkara Nomor 113/PID/2011/PTR JO Putusan
Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
Putusan yaitu telah diselesaikan ;
telah ada kepastian. Putusan Pengadilan yitu pasal 1 ayat (11) adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dlam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut carayang diatur dalam undang-undang ini.[6] Putusan
yang dimaksut dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor
berkas perkara 113/PID/2011/PTR dan Putusan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan
dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
Putusan bebas adalah pasal 191 ayat
(1) KUHP menjelas kan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdawa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdawa diputus bebas, ayat (2) jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdawa diputus lepas dari segala
tuntutan.[7]
Pembunuhan berencana yaitu pasal 340
, barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena
pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup
atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Kejahatn ini dinamakan pembunuhan
dengan direncanakan lebih dahulu’’ (moord). Boleh dikatankan ini, adalahlah
suatu pembunuhan biasa (doodslag) tsb. Dalam pasal 338, akan tetapi
direncanakan terdahulu, direncanakan lebih
dahulu’’ (voorbedachte rade) antara timbulnya maksut untuk membunuh dengan
pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi sipembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimana pembunuhan itu akan dilakukan.[8]
Studi kasus adalah studi yang
bermaksud untuk memahami suatu pristiwa hukum,
dalam hal ini yang menjadi
pristiwa hukum adalah sebagai mana yang terdapat dalam perkara 113/PID/2011/PTR
dan Putusan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan dengan Nomor Perkara 274/PID.B/2010/PN.PSP.
B. Masalah pokok
Betdasarkan
latar belakang yang penilis uraikan diatas, maka penulis menerapkan masalah
pokok sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses pemeriksaan
perkara dipengadilan dalam perkara pidana
Nomor 113/PID/2011/PTR
2. Bagai manakah pertimbangan hukum
dari majlis hakim pengadilan dalam perkara
pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
C. Tinjauan pustaka
Sebelum perkara pidana ini
berjalan sampai dimeja hijau atau sidang pengadilan, ada tahapan yang harus dilalui oleh perkara pidana
yaitu:
Tahapan penyelidikan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian yang diatur dalam pasal 1 butir (4) UU NO. 8
Tahun 1981 . penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik Polri maupun
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang, penyelidik adalah orang yang melakukan
“penyelidikan” Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan
suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran
tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana, pencarian dan
usaha menemukan pristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksut untuk
menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah pristiwa yang ditemukan dapat
dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP
(pasal 1 butir 5)
Dari penjelasan diatas,
“penyelidikan” merupakan tindakan terhadap pertama permulaan “penyidikan” akan
tetapi harus diiangat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi ‘’penyidikan”. penyelidikan
bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata
yang dipergunakan buku petunjuk pedoman pelaksanaan KUHAP, penyelidikan
merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada pungsi penyidikan yang
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa pangakapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan,
dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.[9]
Adapun tugas dan wewenang dari
pejabat penyidik adalah sebagai berikut terdapat didalam pasal 7 KUHAP:
a. menerima laporan
atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan
pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan
dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.[10]
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam, pelaksanaan tugasnya berada di
bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a.
(3) Dalam melakukan
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi
hukum yang berlaku.[11]
setiap
pegawai negeri yang dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwayang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkanhal itu
kepada penyelidik atau penyidik. penyelidik yang mengetahui, menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyelidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada
penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi, dalam
hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapai, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut
umum, penyelidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan itu dari penuntut umum kepada
penyidik (pasal 110).[12]
Pasal
1 butir (7) KUHAP menyebutkan penuntutan dilakukan Penuntut Umum untuk
melimpahkan perkara pidana Kepengadilan Negeri yang bewenag dalam hal menurut
cara yang diatur oleh Unadang-undang, dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan. Selanjut nya Penuntut Umum dapat
menghentikan penuntutan dengan ketentuan tidak cukup bukti, bukan tindak pidana
atau ditutup demi hukum.
Adapun
kewewenang dari Penuntut Umum terdapat didalam pasal 14 KUHAP :
a.
menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b.
mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.
memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat
dakwaan;
e. melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f.
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan
penuntutan;
h. menutup
perkara demi kepentingan hukum;
i.
mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan
penetapan hakim.[13]
Setelah memutus kan berkas tersebut
kemudian dilimpah kan kepengadilan, maka Peuntut umum dapat memebuat surat
dakwaan. Surat dakwaan adalah surat yang berisi dakwaan, hal ini diatur dalam
pasal 143 UU. NO. 8 Tahun 1981, yaitu:
(1) penuntut umum melimpah kan perkara
kepengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tanggal, Agama dan
pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan
(3)
Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagai mana dimaksut dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum;
(4)
Turunan surat pelimpahan perkara serta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau penasehat hukum nya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut kepengadilan Negeri.[14]
Sesuai dengan ketentuan dalam proses
persidangan yang meletakkan kewenagan dan tanggung jawab kepada hakim dalam
memeriksa perkara, maka yang menentukan batal nya, surat dakwaan diserah kan
kepada pendapat dan penilaian hakim yang bersangkutan, oleh karena itu hakim
sebelum menentukan keyakinan dalam memberikan suatu putusan, harus
memperhatikan hal-hal yang dijadikan barang bukti dipersidangan.
Disamping itu didalam pasal 183
KUHAP menjelaskan; Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat bukti adalah apasaja yang dapat
dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya suatau tuduhan/gugatan. Alat
pembuktian; ini disebut dam diatur dalam pasal
184 KUHAP:
(1) Alat bukti
yang sah ialah:
a. keterangan
saksi;
b. keterangan
ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan
terdakwa.
(2) Hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Apabila surat dakwaan terbukti
merupakan suatau tindak pidan maka proses selanjut nya adalah pengambilan
keputusan oleh Majelis Hakim yang bersangkutan, mengenai putusan bebas dalam
perkara tindak pidana dapat di jelaskan sebagai berikut
1. Putusan bebas berati terdakwa
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak).
Hal ini dimana apabila majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan dalam persidangan, kesalahan terdawa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdawa diputus bebas.
2. Pelepasan dari segala tuntutan hukum,
berarti Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakawa terbukti., tetapi perbuatan itu merupakan tidak merupakan suatu
tindak pidana
3. Putusan pemidanaan, hukuman berarti
terdawa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam
pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Ketentuan sebagai mana yang sudah
dikatakan, bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil
musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu
tindakan pidana terbukti dalam pemeriksaan dipersidangan pengadilan, putusan
yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk putusan
bebas. Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum (virj spraak)
atau acquittal. Ini lah pengertian
terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti
dibebaskan dari pemidanaan tegas nya terdakwa “tidak dipidana”. Untuk
mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas, pasal 191 ayat (1) yang
menjelaskan; apabila pengadilan berpendapat:
- dari hasil pemeriksaan “ disidang pengadilan”
- kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya “tidak terbukti”
Berarti putusan bebas ditinjau dari segi
yuridis ialah dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan. Kalau putusan
pembebasan diatur dalam pasal 191 ayat (1) maka putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi: jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka siterdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum.
M. Yahya Harahap
menegaskan bahwa dasar putusan yang bentuk putusan bebas menurut ketentuan
Hukum Acara, hanya didasarkan pada penilaian hakim dimana kesalahan terdakwa
atas perbuatan yamg didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, atau kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan nya tidak
memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Kemudian dijelaskan oleh M. Yahya
Harahap bahwa putusan bebas pada umum nya didasarkan pada penilaian dan
pendapat hakim dalam hal sebagai berikut:
1. kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan
dipersidanagn baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk
keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti
perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena
menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup dan tidak
memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, atau
2. secara nyata hakim menilai,
pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya, alat
bukti yang diajukan dipersidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Dalam
hal yang seperti ini, disamping tidak memenuhi batas minimum pembuktian juga
bertentangan dengan pasal 185 ayat (2) yang menegaskan unus testis atau seorang saksi bukan saksi, atau
3. putusan bebas tersebut bisa juga
didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh
keyakinan hakim. Penilaian demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut
pasal 183; yang mengajarkan pembuktian menurut Undang-undang secara negatif.
Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus
didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat
dinilai cukup terbukti namun nilai pembuktian yang cukp ini akan lumpuh apabila
tidak didukung oleh keyakinan hakim, dalam keadaan penilaian yang seperti ini,
putusan yang akan dijatuhkan pengadilan, membebaskan terdakwa dari tuntutan
hukum.[15]
Putusan hakim yang dianggap tidak
sesuai dengan keinginan para pihak dapat dilakukan melalui upaya hukum, sebagai
mana yang diatur dalam KUHAP yaitu:
1. Upaya hukum biasa, terdiri:
a. Banding, diatur dalam pasal 233 sampai dengan pasal
243 KUHAP
b. kasasi, yang berupa upaya hukum
biasa diatur dalam pasal 244 sampai pasal 258 KUHAP
2.
Upaya hukum luar biasa terdiri
a.
Kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam pasal 259 sampai pasal 262 KUHAP
b.
Peninjauan Kembali (PK), diatur dalam pasal 263 sampai pasal 268 dan 368 KUHAP
c.
Kasasi terhadap putusan bebas, diatur dalam pasal 67 dan pasal 244 sampai pasal 244 KUHAP
setelah hakim menetapkan suatu
putusan terhadap suatu perkara,selanjutnya yang melakukan eksekusia terhadap
putusan yang telah ditetapkan terhadap putusan tersebut adalah pihak jaksa.
D. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
Berdasarkan
rumusan pokok masaalah yang penulis
uraikan diatas maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses
pemeriksaan perkara dipengadilan perkara pidana nomor 113/PID/2011/PTR
2. Untuk mengetahui pertimbangan
hukum dari majlis hakim pengadilan dalam
perkara pidana nomor 113/PID/2011/PTR
Selanjut nya manfaat dari penelitian ini yang penulis harapkan dalam
penulisan ini dalah semata-mata untuk:
1. Utuk menambah ilmu pengetahuan mengenai Hukum Pidana
khusus nya tentang Hukum Acara Pidana
yang membahas tentang tindak pidana pembunuhan berencana
2. Untuk dapat mendatangkan manfaat bagi peneliti yang
akan memperdalam masaalah Hukum Acara Pidana, dan juga mahasiwa/i lain nya yang
mnyangkut masaalah tindak pidana pembunuhan berencana.
Penelitian merupakan suatu sarana
pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi[16]
E.
Metode Penelitian
Istilah
‘’metodologi’’ berasal dari kata ‘’metode’’ yang berarti’’ jalan ke’’ ;
namun demikian, menurut kebiasaan metode
dirumuskan, dengan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1.
Suatau tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian
2.
Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3.
Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.[17]
Untuk
melakukan penelitian ini penulis menggunakan langkah-langakah dalam metode
penelitian sebagai berikut:
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jika
dilihat dari jenisnya, penelitian ini tergolong kedalam penelitian Hukum
Normatif dengan cara study dokumen yaitu mempelajari berkas perkara pidana
Nomor 113/PID/2011/PTR
Sedangakan dilihat dari sifat
nya, penulis penelitian ini bersifat
deskriptif, yang berarti penelitian yang dimaksut untuk memberikan gambaran
secara rinci tentang pembuktian dalam perkara Nomor 113/PID/2011/PTR dan
perimbangan hakim dalam memberikan putusan dalam perkara nomor
113/PID/2011/PTR, jelas dan sitematis tentang permasalahan pokok penelitian.
Sedangkan jika dilihat dari
sifatnaya, penulisan penelitian in i bersifat deskriptif, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
penelitian deskriptif yaitu memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan tujuan mempertegas
hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama,
atau dalam kerangka menyusun teori-teori baru.[18]
2.
Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah berupa data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
yaitu dalam pemelitian ini adalah berkas perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
dan Peraturan Perundang.undangan
b. Bahan Hukum Sekunder
yaitubahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer
berupa pendapat para ahli serjana, literatur atau mengenai buku-buku mengenai
hukum pidana dan mengenai hukum acara pidana yang berkaitan dengan penelitian
ini
c. Bahan Hukum Tertier
yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dalam bentuk kamus, tulisan tentang laporan-laporan
dan jurnal-jurnal.
3. Analisis Data
Setelah
data yang penulis peroleh dari berkas perkara Nomor 113/PID/2011/PTR, lalu
penulis olah data tersebut dengan cara
menguraikan dalam bentuk rangaian-rangkaian kalimat yang jelas dan rinci.
Kemudian dilakuakan pembhasan dengan memperhatikan teori-teori hukum, undang-undang,
dokumen-dokumen dan data lainnya , serta membandingkan dengan pendapat para
ahli.
Adapun cara penulis mengambil
kesimpulan dalam penelitian ini adalah berpedoman pada cara induktif yaiyu,
penyimpulan dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.
F.
Sistematika Penulisan
Untuk
memudahkan sajian penelitian, penulisan uraiakan secara garis besar Bab demi
Bab dalam lingkungan penelitian ini, sebagai berikut:
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
B. Identifikasi
masalah
C. Tinjauan
Umum
D. Tujuan
dan Manfaat
E. Metode
Penelitian
F. Sistematika
Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum
Tentang Pembunuhan Berencana
B. Kasus Posisi
Perkara Nomor 113/PID/2011/PTR
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. proses pemeriksaan perkara dipengadilan dalam perkara
pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
B. Bagai manakah pertimbangan
hukum dari majlis hakim pengadilan dalam
perkara pidana Nomor 113/PID/2011/PTR
BAB IV PENUTP
A. kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
[1] Jurnal mahkamah, No 1 Vol. 3 April 2011 hlm. 8
[2]
Ibid., hlm. 13
[3] Abdul Hadi Ansari, Sistem juri dan
Dissenting Opinion sebgagai lamgkah awal dalalm peradilan yang jujur dan Berwibawa di Indonesia, UIR Press,
Pekanbaru, 2004, hal. 312
[4] M. Yahtya Harahap, Pembahasan Permasalahaan
dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal.347
[5] Ibid, hlm. 352
[6] Solahudin,
KUHP (kitap Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum
Acara Pidana), Visimedia, Jakarta, 2007, hal. 193
[7] Ibid, hlm. 293
[8] R. Soesilo, kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP), serta komentar komentar nya lengkap pasal demi pasal, polita.bogor,
1999, hlm.241
[9] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahaan dan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2000, hal. 101
[10] Drs. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 356
[11] KUHPer,
(kitap Undang-Undag Hukum perdata), KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana),
KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Pustaka Yustisia, Jakarta,
2010, hal. 648
[13] Solahuddin, op.cit, hal. 200
[14] Sudarsono, kamus hukum, Rineka Cipta,
Jakarta, 2007, hal. 464-465
[15] M. Yahya Harahap, op cit, hal. 348
[16] Soejono sukanto, Sri Mamududji, Penelitian
Hukum Normatif, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 20
[17] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, UI-Pers, Jakarta, 2010, hal. 5
[18] Ibid, hal. 10
TOLONG KRITIK DAN SARAN NYA DI PERSILAHKAN.....
BalasHapus